Kegiatan "Save Our World" yang dihelat The Yudhoyono Institute di Djakarta Theater (Selasa, 1/7) rasa-rasanya tidak sekadar perayaan karya musik. Ia lebih bernyawa dari itu. Kegiatan ini menampilkan harmoni dalam tugas besar sejarah: selamatkan bumi kita. Ini yang sesungguhnya menjadi inti pesan dari kolaborasi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama 35 musisi tanah air lintas generasi. Masalah bumi bukan monopoli pemerintah dan aktivis lingkungan. Masa depan bumi adalah tanggung jawab bersama.
Saya mahfum SBY sungguh-sungguh dengan komitmen keberlanjutan. Sepanjang menjadi Presiden Indonesia 2004-2014, SBY menjadikan lingkungan menjadi salah satu dari 4 pilar kebijakan pemerintahannya. Dalam Four Track Strategy —pro lingkungan— meskipun ditempatkan terakhir, sesungguhnya ujung dari semua kebijakan. Jika diibaratkan rel: pertumbuhan, pemerataan, dan kemakmuran adalah lintasan yang awal. Namun menjaga lingkungan adalah lintasan yang tidak berujung. Perkara lingkungan adalah soalan masa depan, soalan anak dan cucu.
Membangun dengan Rasa
Pembangunan yang hakiki tidak didikte oleh logika. Bukan sekadar segala rupa yang berdimensi fisik, material, atau statistikal belaka. Pembangunan yang hakiki harus berawal dari rasa, karsa yang bersih. Pembangunan meniscayakan sebuah komitmen narani untuk pembuatan kebijakan yang berpihak pada harmoni, kesetimbangan manusia dengan alam. Kita hidup di dunia yang sama, maka menjaga alam adalah sebentuk tugas kenabian. Raise your hand up and pray, to the one that you pray— angkat tangan dan berdoalah, pada harapan yang kau yakini.
Pembangunan yang berakar dari rasa dan karsa adalah sebuah dekonstruksi. Ia membongkar kenisbian, yakni arah pembangunan yang dibangun dengan etos kapitalistik. Pembangunan yang hanya ditakar dengan untung rugi dan utilitas jangka pendek. Maka apa yang disampaikan SBY dalam lirik "Save Our World", bumi ini taman kehidupan, hutan dan lautan di relung langit biru. Ini adalah pesan filosofis yang menegaskan perlunya komitmen dan aksi kolektif dalam menjaga rumah kita. Jika alam dirusak, maka sama artinya dengan merusak tempat kita tinggal dan berpijak. Jika alam rusak, maka rusaklah peradaban dan kehidupan.
Tidak mengherankan jika selama SBY menjadi Presiden Indonesia, kebijakan yang mengarusutamakan keberlanjutan menjadi pilar sekaligus tujuan pembangunan. Saya menebak, kebijakan ini berlandaskan pada dua realitas sekaligus. Indonesia adalah paru-paru dunia. Jika alam rusak, maka kehancuran ekologi tidak hanya berdampak bagi rakyat nusantara, namun mencipta derita bagi masyarakat global. Ini adalah realitas domestik. Saya, anda, dan kita semua mungkin sudah mahfum dengan fakta ini.
Namun yang (barangkali) langka, ini menjelaskan keluasan pengetahuan, wawasan global, dan fokus kebijakan yang SBY bangun. Saya mencatat, SBY punya atensi dan berkontribusi aktif di berbagai forum global dalam isu keberlanjutan. Pada 2007, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-13 (COP13) di Bali. Hasilnya, Bali Road Map semakin meneguhkan dan memperluas upaya pengurangan emisi sebagaimana telah dimulai dalam Protokol Kyoto. Dalam forum ini, SBY menyampaikan pidato utama tentang peran negara berkembang dalam mitigasi perubahan iklim.
Di tahun yang sama, Indonesia juga menjadi pelopor REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Ini adalah kolaborasi strategis dalam mengurasi emisi oleh deforestasi. Tindak lanjutnya Indonesia menetapkan moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut. Pada 2009, Indonesia menjadi inisiator yang melahirkan Deklarasi Manado, komitmen kolektif untuk pengelolaan laut yang berkelanjutan. Lagi-lagi, SBY menjadi aktor kunci yang mengulirkan diksi “blue economy.”
Dari beberapa aksi kebijakan ini, kegiatan “Save Our World” barangkali lebih tepat disebut napak tilas sekaligus refleksi kritis dalam menyikapi transisi lingkungan yang kian mengkhawatirkan. Isunya bahkan bergeser dari perubahan iklim menjadi krisis iklim. Bumi yang kita tinggali tidak lagi sama. Semuanya berubah, semuanya semakin mencemaskan.
Saatnya Buat Perubahan
SBY dan Prabowo, saya lihat keduanya memiliki kesamaan. Keduanya punya kewaspadaan yang sama dalam melihat ancaman krisis iklim. Maka ketika Presiden Prabowo memberikan mandat kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan dalam proyek Tanggul Laut Raksasa, ini wujud nyata kepercayaan. Presiden Prabowo tentu menyadari untuk sebuah pekerjaan besar membutuhkan visi besar dan pemahaman yang mendalam.
Proyek Tanggul Laut Raksasa bukan sebatas perkara menjaga wilayah darat dari arus laut, namun mitigasi taktis dalam menjaga kelanjutan hidup rakyat. Ini senada dengan potongan dalam lirik lagu: We’re a part of this problem, we need each and everyone— kita adalah bagian dari masalah ini, saatnya berkolaborasi. Tapi kepemimpinan di atas yang bisa mewujudkan. Prabowo dan AHY, kita tentu berharap banyak darinya.
Sebagai negara yang rawan terhadap krisis iklim, infrastruktur adalah penanda sekaligus mitigator. Sebagai penanda, infrastruktur adalah wujud dari pembangunan. Apa yang telah dibangun hari ini akan digunakan untuk masa sekarang dan masa mendatang. Negara punya keberpihakan yang nyata dalam mewujudkan kemakmuran rakyat. Dari Tanggul Laut Raksasa, bendungan, jalan, irigasi, instalasi kelistrikan, teknologi informasi, sampai ketahanan energi. Selaku mandataris rakyat, pemerintah terus bekerja untuk rakyat.
Infrastruktur juga menjadi instrumen mitigasi dalam menyikapi ancaman terhadap keberlanjutan. Pemerintah tidak sedang berdiam diri dalam menghadang ancaman aktual kenaikan permukaan air laut, kekeringan, gagal panen, atau kelangkaan energi. Dengan membangun berbagai perangkat fisik secara terarah, rakyat punya harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Atau setidaknya rakyat tetap dapat merajut asa.
Namun lebih jauh dan mendasar, terselip pokok yang terpenting: jaga tanah-tanah adat kita. Cara kita beriman, tentukan masa yang akan datang. Saya menangkap, iman yang dimaksud bermakna metaforis dan simbolik. Ini adalah tugas kolektif, baik bagi pemerintah maupun kita semua. Pemerintah berpihak dalam kapasitasnya sebagai pemangku kebijakan. Masyarakat juga punya tanggung jawab dalam menjaga kelestarian lingkungan. Iman teologis senada dengan iman kebijakan. Iman individual selaras dengan iman kolektif.
Persis dalam konteks inilah seruan SBY punya relevansi dan aktualitas. Bersatu, bersatulah kawan. Make a change forever, we can do it if we just try— Ayo buat perubahan yang berkelanjutan. Kita bisa melakukannya jika kita berani berupaya.
Arifuddin Hamid
Direktur Eksekutif Prolog Initiatives. Pengamat Politik dan Kebijakan Publik
Dimuat Antara, 7 Juli 2025