
Padahal, segala yang simbolistik adalah yang rapuh. Ia dangkal, miskin ide. Kepemimpinan politik tidak melulu cara mengkanalisasi euforia, tetapi harus menjadi pemandu rasional arah perjalanan bangsa. Apalagi dengan dinamika geostrategi regional dan global yang kian mencekam, populisme hanya menaruh bara. Di banyak negara, bahkan di negara-negara yang mendaku berdemokrasi maju, populisme menjadi parasit bagi stabilitas ekonomi dan keadaban semesta.
Dari Viktor Orban di Hungaria, Le Pen di Prancis, Wilders di Belanda, Bolsonaro di Bazil, sampai Trump di Amerika Serikat. Semuanya mendeklarasikan perang terhadap multikulturalisme. Dengan politik simbol, politik tidak lagi menjadi ikhtiar membangun keadaban kolektif, namun alat penggebuk untuk yang berbeda. Demokrasi ditafsir menyempit menjadi strategi menang pemilu. Parahnya lagi, politik simbol ini membajak ruang virtual sekadar instrumen penguat hegemoni.
Mengapa Teknokrasi?
Teknokratisme punya jejak panjang dari era Yunani Kuno. Plato dalam Magnus Opusnya "Republic" menyatakan perlunya pemimpin (politik) yang dibimbing oleh akal budi dan kecerdasan yang mumpuni. Jenis kepemimpinan ini mensyaratkan rasionalitas, efisiensi, serta solusi teknis bagi persoalan yang dihadapi rakyat.
Teknokratisme sesungguhnya bukan alternatif dari demokrasi, namun senafas dan saling menopang. Menghilangkan teknokratisme dalam politik hanya mengerdilkan prinsip-prinsip demokratik yang sejatinya tidak hanya berhenti pada perebuatan kuasa. Demokrasi dan politik tidak hanya selesai di kotak suara, lantas pemimpin politik terpilih. Teknokrasi politik justru dimulai dari sejak pemimpin disumpah dalam altar suci konstitusi. Teknokrasi politik adalah seni mengelola politik untuk kebaikan bersama (bonum commune).
Hal ini pulalah yang sejatinya ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, Alinea ke-4, bahwa kemerdekaan Republik Indonesia bertujuan perlindungan kewargaan, kesejahteraan umum, pencerdasan kehidupan bangsa, serta melaksanakan ketertiban dunia. Apa yang telah dirumuskan dan disepakati bersama oleh Para Bapak Bangsa sesungguhnya direktif mengelola negara dengan mendasarkan pada logika dan intelektualisme.
Dengan begitu, sang pemimpin akan lebih sibuk berbicara data, statistik, strategi, cara agar semua kebijakan politik benar-benar berdampak pada kesejahteraan rakyat. Ruang publik akan disesaki oleh narasi bermutu, yang dipandu oleh akal sehat dan segala bentuk perhitungan yang logis. Apa yang kemudian didedahkan oleh pemerintahan hari ini adalah segala yang teknokratik itu.
Pemimpin yang Teknokratis
Tulisan ini tidak berhasrat untuk menjadi biografi mini, namun mencoba menilai bagaimana profil pemimpin potensial bangsa ke depan. Ini tentu didasarkan pada beberapa variabel yang memang mengindikasikan terpenuhinya berbagai syarat dalam teknokrasi politik. Menjadi pemimpin politik barangkali akan mudah, apalagi di era politik elektoral yang (seolah) menjadikan suara rakyat sebagai komoditas belaka. Namun jika kita hendak memberi mandat pada pemimpin yang teruji, berintegritas, cerdas, dan mengerti cara mengelola negara, soalannya menjadi lain.
Dalam teknokrasi politik, hal penting dan terutama adalah kecerdasan. Ini menjadi prasyarat mendasar seseorang menjadi pemimpin politik. Dengan kecerdasannya, sang pemimpin akan langsung memahami apa saja yang mesti dilakukan dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, tau cara membawa bangsa ini menjadi lebih maju, lebih makmur. Dalam praktik penyusunan kebijakan, sang pemimpin tidak mempan didikte, dan berani berlaku partisipatif dalam proses menyusun kebijakan.
Selain itu, prasyarat penting lainnya adalah portofolio karir dan pengabdian. Pemimpin yang otentik dan mengakar tidak lahir dari ruang hampa. Ia ditempa kenyataan, terbentur, sampai terbentuk. Mengelola negara itu bukan perkara mudah. Seperti yang diungkap Paul Krugman, bahwa negara bukan perusahaan. Tata kelola kebijakan ekonomi, sosial, dan politik jauh lebih rumit ketimbang mengelola bisnis. Oleh karena itu, dibutuhkan kecakapan strategis sekaligus teknis dalam perumusan kebijakan publik.
Terakhir, dan ini berdimensi etik, adalah integritas. Kita tentu tidak ingin memilih pemimpin yang bermasalah, punya kasus hukum, terindikasi melanggar etika. Kita memang tidak sedang mencari "pemimpin setengah dewa," namun juga tidak salah jika kita berharap kualitas tertentu dari seorang pemimpin. Dalam ungkapan Max Weber, seorang pemimpin yang punya kualitas kepribadian adikodrati.
Hari ini, Presiden Prabowo saya yakini betul memiliki semua kualifikasi itu. Lalu, siapakah generasi selanjutnya yang sepertinya juga memilikinya?
Menurut saya, AHY. Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan. AHY, seperti halnya Presiden Prabowo, pemimpin yang juga punya rekam jejak panjang dalam dunia akademik dan intelektualisme. AHY pun diasah dalam kawah candradimuka yang sama, dan punya atensi tinggi pada ilmu pengetahuan. Bagaimana dengan anda?
Arifuddin Hamid
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik
Dimuat Kumparan (1 Juli 2025)